Pertanyaan itu muncul saat sebuah jenjang akademis tidak lagi bisa menjamin seseorang menjadi bijak dalam kehidupannya. Namun, sebuah jenjang akademis berpeluang untuk menjadikan seseorang lebih bijak. Menurut saya.
Yang terlihat keliru adalah saat orientasi akademis menjadi keinginan berlebihan hingga berpotensi menjadi ambisi. Dengan tujuan sempit, setiap langkah bakal salah kaprah dan parahnya lagi hal tersebut berdampak negatif sehingga bakal tidak mencerminkan seorang akademisi. Menurut saya.
Ahahaha, saya bukanlah seorang sarjana, spesialis, maupun dokter, apalagi profesor. Namun saya memiliki keinginan untuk menuju kesana. Dan dengan segala keterbatasan akademi yang hanya tingkat lulusan SMK, boleh lah dan saya siap bila ditertawakan oleh orang-orang yang tingkat pendidikannya lebih tinggi daripada saya.
Begini, adakalanya, saya sedikit tersinggung dengan sikap orang semena-mena berdasar kesombongan. Dan modal orang tersebut dengan memperlihatkan emblem akademiknya. Saya yakin, seorang profesor yang baik bakal bijak menyikapi segala situasi. Dengan ramuan pendidikan yang mereka lalui, mereka lebih tahu apa yang harus dilakukan dalam kondisi apapun.
Ayo! Harus semangat mencari ilmu dengan cara apapun, tanpa patah semangat dan menerima kenyataan yang ada.
Adalah sebuah ungkapan yang benar jika kita dilarang untuk terlampau jauh berandai-andai --berbeda dengan bercita-cita. Karena terkadang buaian andai-andai membutakan diri untuk dapat melihat apa-apa yang paling dekat disekitar kita.
"Ini untuk kemajuan bangsa.", tapi jangan lupakan apa yang dibutuhkan orang-orang disekelilingmu.
"Ini kewajiban agama yang tercantum dalam rukun kelima.", ingatlah orang-orang yang pernah kamu sakiti akibat lisanmu.
"Kita harus begini, begitu, dan begono.", sudahkah kita merapikan tempat tidur kita sendiri?
Kehidupan bukan berdasar rumus yang dibuat manusia. Banyak faktor 'x' yang menjadi pertimbangan untuk menjadi seseorang sebenarnya ditengah masyarakat.
Apakah 'yakin' bisa menjadi sebuah variabel?
Begitu pula 'ikhlas', bagaimana kita merumuskannya?
Apalagi dengan 'kebulatan tekad' harus ditulis seperti apa dalam buku matematika?
Sebuah kebijaksanaan terlalu kompleks untuk dikupas satu persatu. Dominasi faktor 'x' menjadi penting agar seorang manusia tidak pudar dengan arti sebenarnya 'manusia'.
Semoga selalu ada jalan. Dan lurus. Amin.
Salam.
Yang terlihat keliru adalah saat orientasi akademis menjadi keinginan berlebihan hingga berpotensi menjadi ambisi. Dengan tujuan sempit, setiap langkah bakal salah kaprah dan parahnya lagi hal tersebut berdampak negatif sehingga bakal tidak mencerminkan seorang akademisi. Menurut saya.
Ahahaha, saya bukanlah seorang sarjana, spesialis, maupun dokter, apalagi profesor. Namun saya memiliki keinginan untuk menuju kesana. Dan dengan segala keterbatasan akademi yang hanya tingkat lulusan SMK, boleh lah dan saya siap bila ditertawakan oleh orang-orang yang tingkat pendidikannya lebih tinggi daripada saya.
Begini, adakalanya, saya sedikit tersinggung dengan sikap orang semena-mena berdasar kesombongan. Dan modal orang tersebut dengan memperlihatkan emblem akademiknya. Saya yakin, seorang profesor yang baik bakal bijak menyikapi segala situasi. Dengan ramuan pendidikan yang mereka lalui, mereka lebih tahu apa yang harus dilakukan dalam kondisi apapun.
Ayo! Harus semangat mencari ilmu dengan cara apapun, tanpa patah semangat dan menerima kenyataan yang ada.
Adalah sebuah ungkapan yang benar jika kita dilarang untuk terlampau jauh berandai-andai --berbeda dengan bercita-cita. Karena terkadang buaian andai-andai membutakan diri untuk dapat melihat apa-apa yang paling dekat disekitar kita.
"Ini untuk kemajuan bangsa.", tapi jangan lupakan apa yang dibutuhkan orang-orang disekelilingmu.
"Ini kewajiban agama yang tercantum dalam rukun kelima.", ingatlah orang-orang yang pernah kamu sakiti akibat lisanmu.
"Kita harus begini, begitu, dan begono.", sudahkah kita merapikan tempat tidur kita sendiri?
Kehidupan bukan berdasar rumus yang dibuat manusia. Banyak faktor 'x' yang menjadi pertimbangan untuk menjadi seseorang sebenarnya ditengah masyarakat.
Apakah 'yakin' bisa menjadi sebuah variabel?
Begitu pula 'ikhlas', bagaimana kita merumuskannya?
Apalagi dengan 'kebulatan tekad' harus ditulis seperti apa dalam buku matematika?
Sebuah kebijaksanaan terlalu kompleks untuk dikupas satu persatu. Dominasi faktor 'x' menjadi penting agar seorang manusia tidak pudar dengan arti sebenarnya 'manusia'.
Semoga selalu ada jalan. Dan lurus. Amin.
Salam.
Comments
Post a Comment